Kamis, 13 Mei 2010

Curhat

Hari ini ceritanya q mau curhat sm blog q tercinta , wezzs..

Hari-hari ini banyak masalah, apalagi q takut cinta q bertepuk sebelah tangan.

1. Sahabat-sahabat q mulai menjauh.
2. Ortu ngelarang theater :(
3. Q sm dy udh mulai menjauh
4. Ada feliing lg sma si tigis...(Hadooh)
5. Mau ke sini nggak boleh, ke sana nggak boleh. Suntuk di rumah

Maunya punya cwok, tp sp yg mau ma gw..
cpek ngejomblo nie, orang2 jg nggak ada yg ngertiin q.
Kenapa sech, aku benci dg semua ini..

Q suntuk sm kehidupan q
Serasa q pgn mati..


Blog q tercinta..
Udh nangis q, tapi semoga q tegar ngejalanin hidup q ..








MEREKA NGGAK ADA YANG PEDULI KE AKU

Selasa, 13 April 2010

INI BUKAN PUISI DAN SAJAK

INI BUKAN PUISI DAN SAJAK

Baruku tersadar dengan gelapnya malam, dan cerahnya sang bulan.
Selama ini apa artiku di mata mereka.
Teman, bukan ..??
Sahabat, apa lagi. Mereka bahkan tak menaganggap q seabagai sodara
Lalu apa arti hadirku di kehidupan mereka ?
Sebagai pengganggu ??
Setan, Jin ??
Kalau bukan itu lalu apa ??
Penghianat yang sangat kejam dan dicari ??
Maling, PemFitnah ??

Jika kau memang menganggap ku seperti itu, aku akan lari jauh dari kehidupanmu.
Menuju langit ke 7 yang sangat jauh
Pergi semakin pergi dan menjauh.

Tapi, apabila kaian masih menganggap ku ada dan menanggap q sebagai sobat mu
Tolong berilah sedikit perhatian atau sedikit waktu untukku,

Dan jangan sekali kali kau permainkan diriku ,
Karena q masih punya harga diri yang mungkin lebih tinggi darimu.



Friends, 2 hari ini aku merenung untuk itu semua.
Bagiku kalian semua udh nggak nganggep aku ada, dan hanya mempermainkan ku layaknya boneka, aku layaknya robot yang bisa disuruh tanpa ada protesan.
Tapi sebenarnya aku juga ikhlas, tapi di sisi lain aku menanggap iti sebagai hinaan yang sangat amat parah, selayaknya kalian anggap aku budak, babu yang bisa di suruh.

Tapi sebelumnya aku minta maaf atas semua kemunafikanku, kejahilanku pada kalian.

Arti Persahabatan

Hidup ini bagaikan teka teki
di mana kita harus menebak ......
semua tangga yg terlihat hitam ataupun putih
kadang di saat kita bahagia sekali pun

Bagaikan air yg terus mengalir
tanpa menghiraukan .......
bahwa esok akan ada yg menantikan kesedihan
di saat dan dengan keadaan apa pun


Aku bisa merasakan arti persahabatan
yang seutuhnya ya.......itulah kawanku , temanku...
sahabatku yg selalu membuat aku
melupakan kesedihan dan kembali melangkah dengan ceria ....

Ku angkat wajahku......
ku buang rasa sakitku.....
ku ringankan langkahku....
ku ayun tanganku......

Satu hal yg akan ku ingat selamanya
Satu sahabat lebih baik dari apa pun
Karena dia mampu memberikan pegangan
Di saat kita terhuyung dan terjatuh
Dia jg mampu membuat kita tersenyum kembali dalam canda tawanya ...

Sabtu, 13 Maret 2010



Dandelion.

Sang bunga yang putih tanpa dosa.
Tak berdaya, namun banyak manusia yang merusaknya.
Kaulah dandelion kecil.
Bentuk mu yang seakan menutupi sang kumbang-kumbang kecil.
Kaulah yang mempertemukan q dengan mereka.
Sang dendelion, kau yang payungi kita.
Dalam 1 atap organisasi.

Tanpa dirimu tak ada damdelion,
Tanpa kau tak mungkin q bertemu dgnya,
Sang dendelion adalah sang pemimpin,
Sang raja ,
Sang Impian.



By : -Yanti Duduz Sii Dandelion-


Jumat, 25 September 2009

JODOH

Hidup memang penuh kejutan, setidaknya bagiku. Semuanya berawal dari pembicaraanku dengan Mama sebulan yang lalu. Aku dan Mama sedang sarapan saat Mama tiba-tiba membuka pembicaraan.

“Sampai kapan Mama harus mengurus kamu, Bram?” Pertanyaan Mama membuatku tertegun.

”Maksud Mama?” aku menatap Mama. Mencoba menerka arah pembicaraannya.

”Yah, bukankah sudah saatnya ada perempuan lain yang menemani kamu sarapan?” Mama tersenyum menatapku.

Mungkin memang sudah waktunya aku menikah. Tahun ini usiaku tiga puluh lima tahun. Penghasilanku sebagai manager di salah satu perusahaan asing cukup memadai untuk berumah tangga. Apalagi yang ditunggu? Pertanyaan ini sudah sangat sering kudengar dari kerabat ataupun kolegaku.

Aku tersenyum kecil.

”Mama tahu, kamu merasa bertanggungjawab kepada Mama dan adik-adikmu. Tetapi jangan lupakan yang satu itu. Mira sudah berkeluarga, Dewi juga. Sementara Mama sudah lebih dari cukup menerima perhatianmu. Mama sangat bersyukur memiliki anak sepertimu.”

Aku terdiam.

”Bram, Papa titip Mira dan Dewi…juga Mama…” Papa berbisik perlahan sehari sebelum kematiannya, sepuluh tahun yang lalu. Saat itu, Mira baru saja masuk kuliah dan Dewi masih kelas satu SMU. Sejak itu, hari-hariku kuisi dengan kerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

”Bram…” Mama menunggu jawabanku.

”Iya, iya, Insya Allah. Ma…”

Mama benar. Tidak ada lagi alasan bagiku untuk menunda rencana berkeluarga. Dewi sudah menikah tiga bulan yang lalu. Amanah Papa sudah kutunaikan. Persoalannya adalah, siapa wanita yang akan kunikahi? Aku tidak pernah pacaran. Aku takut terjebak melakukan perbuatan yang tidak baik. Alternatif calon juga tidak ada. Jadi, siapa yang akan kulamar?

Sebenarnya, aku bisa minta bantuan kepada orang lain. Mama, kerabat atau kolegaku dengan senang hati pasti akan berusaha membantu. Tetapi, sebelum meminta bantuan orang lain, aku akan sholat istikharah dulu. Aku ingin melangkah dengan tenang.

Dan terjadilah keajaiban itu. Setelah dua kali sholat, tiba-tiba Laras muncul dalam mimpiku. Begitu jelas. Laras? Aku tercengang. Laras adalah teman kuliahku di Pasca Sarjana. Sudah hampir dua semester ini aku kuliah lagi di salah satu PT terkenal di Jakarta. Ia sangat cerdas dan rasional. Ia juga kerap membantaiku dalam diskusi-diskusi di ruang kuliah.

”Menurut saya, teori yang saudara gunakan untuk menganalisa persoalan ini tidak tepat. Terlalu dipaksakan…” Komentar Laras saat membantaiku seminggu sebelumnya terngiang kembali di telingaku. Komentar yang diucapkannya dengan santun itu selalu membuatku gelagapan. Komentarnya selalu logis, ilmiah dan sulit dibantah. Sudah berkali-kali aku dan teman-teman ’dibantainya’.

Ya, mengapa harus Laras? Perempuan yang kepribadiannya begitu kuat dan tenang, sampai tidak ada pria yang berani menjalin hubungan lebih dekat dengannya. Sebenarnya Laras baik, sangat baik. Ia tidak pernah segan membantu orang lain atau berkata kasar. Tetapi aku benar-benar sungkan menghadapinya. Apalagi membayangkan harus melamarnya.

Mimpi itu juga menyisakan pertanyaan buatku. Benarkah ini isyarat Allah? Atau, aku diam-diam menyukainya sehingga sosok Laras muncul dalam mimpiku. Aku bimbang.

“Bagaimana, Bram?” Mama meminta kejelasan dariku dua minggu kemudian. Aku hanya mampu tersenyum kecut.

“Belum ada calon? Apa perlu Mama bantu?” Mama menatapku.

Aku tergagap. “Tidak perlu, Ma. Saya akan mencoba mencari sendiri saja.” Mama tersenyum. Aku menarik napas lega. Untuk sementara aku berhasil menenangkan Mama.

Malamnya, aku mencoba menenangkan diri dan mulai sholat istikharah lagi. Kali ini, aku mencoba lebih tenang dan pasrah kepada Allah. Aku mencoba melepaskan segala kebimbangan dan sungguh-sungguh meminta keputusan-Nya.

Aku berjalan bersisian dengan Laras. Begitu dekat. Laras tersenyum. Manis dan sangat lembut. Mimpi itu lagi! Aku terbangun menjelang pukul tiga dinihari. Sebentuk perasaan aneh masih sempat kurasakan saat aku terbangun. Indah!

Apakah Laras memang jodohku? Pertanyaan itu kembali bermain dalam benakku. Aku mencoba menelisik kembali kejernihan hatiku. Benarkah aku memang tidak terobsesi kepada Laras? Aku mengurai kembali semua interaksiku dengan Laras. Sejak pertemuan pertama.

”Saya Laras!” Ia memperkenalkan diri dengan lugas, tanpa senyum. Juga tanpa jabat tangan. Aku hanya mengangguk.

”Bram.” Aku menyebutkan namaku. Dingin, tapi cukup sopan. Itu kesan pertamaku. Ia tidak genit atau cerewet seperti satu dua orang perempuan yang pernah kukenal. Seingatku, tidak pernah ada momen istimewa antara aku dengan Laras. Benar-benar hanya hubungan antar teman kuliah. Aku malah lebih akrab dengan Susi, teman kuliahku yang lain. Aku juga tidak pernah merasa ’aneh’ saat berinteraksi atau berpapasan dengannya. Bahkan ketika aku nyaris bertabrakan dengannya. Semua wajar dan biasa saja.

So? Aku masih tetap ragu. Kuputuskan untuk menunggu sampai benar-benar merasa yakin. Dan selama masa menunggu itu, terjadi suatu peristiwa yang semakin membuatku merasa ciut menghadapi Laras.

”Maaf…” Laras mengacungkan tangan. Semua mata tertuju kepadanya. Aku menahan napas. Apa yang akan dikatakannya kali ini. Aku berdebar-debar menunggu komentarnya atas makalah yang kupresentasikan.

”Menurut saya, makalah ini tidak memenuhi kualifikasi ilmiah.” kata-kata itu diucapkannya dengan nada meminta maaf. Aku terkejut. Makalah ini memang kusiapkan dengan terburu-buru. Pekerjaanku di kantor sedang bertumpuk. Beberapa teman menggumam. Dosenku tersenyum kecil. Ia sudah biasa menghadapi Laras.

Aku tersinggung dan merasa dipermalukan. Ini adalah komentar paling tajam yang pernah dilontarkan Laras kepadaku. Walaupun kemudian aku bisa menerimanya saat ia dengan argumentatif menjelaskan kelemahan makalahku.

Kejadian itu membuatku semakin ragu. Entahlah, barangkali aku merasa tidak siap mempunyai istri yang dapat membantaiku setiap saat. Atau mempertanyakan kebijakanku sebagai suami. Aku memang tidak terbiasa dipertanyakan seperti itu. Kedudukanku sebagai anak tertua dan tulang punggung keluarga membuat adik-adikku dan Mama memperlakukanku secara istimewa. Apa kata Mas saja, terserah Mas… Selalu itu yang kudengar dari mereka. Kalaupun mereka tidak sependapat denganku, tidak pernah ada yang secara lugas menyatakan ketidaksetujuannya. Begitu juga dengan bawahanku di kantor.

Aku semakin tidak berani menghadapinya setelah peristiwa itu. Jadi, untuk sementara aku terpaksa menenangkan diri lagi. Tapi desakan dari Mama tiga hari yang lalu membuatku terpaksa bertindak.

”Bram, mungkin sudah waktunya Mama membantu. Sudah sebulan, dan kamu belum juga bertindak apa-apa. Mama sudah semakin tua, Bram. Belakangan ini, Mama semakin sering sakit. Mama tidak ingin terjadi sesuatu pada diri Mama sebelum kamu menikah…” Mama berkata setengah memohon. Aku menunduk.

”Bram…”

Aku menatap Mama. Mama menarik napas panjang. Aku menunggu Mama bicara.

”Kalau tiga hari lagi tidak ada keputusan, Mama akan mencari calon untuk kamu. Kamu kenal Nita? Anak Bu Retno? Nita baik, lho… Dia juga cantik dan terpelajar…” Bla…bla…bla. Hampir lima belas menit Mama bercerita tentang Nita. Aku kenal Nita. Nita memang baik, tetapi bukan itu persoalannya. Aku ingin menuntaskan masalah Laras dulu.

Tidak ada jalan lain. Akhirnya, kumantapkan hatiku untuk bicara dengan Laras. Tapi, bagaimana caranya? Lewat telepon? Nomer telepon Laras saja aku tidak punya. Atau, mengajaknya bicara secara langsung? Bagaimana kalau ia menolak dan membantaiku seperti ia membantai makalahku?

Akhirnya, kuputuskan untuk meminta nomer telepon Laras dari Susi. Aku berhasil menghindar dari pertanyaan Susi dengan memberinya sebentuk senyuman aneh. Untungnya, ia tidak bertanya lebih jauh.

Malamnya, aku mencoba menelpon Laras. Aku menggenggam Hp-ku dengan perasaan tidak karuan. Dengan tangan gemetar aku menelponnya.

”Halo, Assalamu’alaikum!” Suaranya terdengar tegas. Tiba-tiba aku merasa tidak siap berbicara dengannya.

”Halo! Halo!”

Aku mematikan Hp-ku. Looser! Gerutuku dalam hati. Aku benar-benar tidak berdaya.

”Bram, waktunya tinggal hari ini.” Mama menatapku serius saat aku berpamitan tadi pagi.

”Ya, Ma. Aku usahakan.” Aku menjawab ragu.

Jadi, hari ini, mau tidak mau aku harus bicara dengan Laras. Aku berangkat ke kampus dengan gugup. Sampai di kampus, aku mencari-cari Laras. Sosoknya tidak kelihatan sampai kuliah dimulai. Lebih kurang lima belas menit setelah kuliah dimulai, Laras muncul. Ia menuju kearahku dan mengambil tempat di sebelahku, satu-satunya tempat kosong yang tersisa siang itu. Laras duduk dengan tenang di sebelahku dan segera mengikuti kuliah. Aku semakin gelisah. Tubuhku mulai berkeringat.

Kuliah usai. Aku menunggu kesempatan untuk bicara dengannya. Aku sengaja memperlambat berkemas sambil menunggunya. Satu persatu teman kuliah meninggalkan ruangan. Akhirnya, setelah ruangan cukup sepi, aku memberanikan diri untuk bicara dengannya.

”Laras! Boleh saya bicara?”

Laras menghentikan kesibukannya membereskan buku-buku dan beberapa makalah yang berserakan.

“Ya.” Ia melanjutkan kesibukannya tanpa menatapku sama sekali.

Tanganku gemetar. Suaraku tersekat di tenggorokan.

”Ada yang bisa saya bantu?” Laras akhirnya melihat ke arahku. Ia mulai kelihatan tidak sabar dengan sikapku. Ia sudah selesai membereskan buku-bukunya.

Aku masih tidak mampu bicara. Keringat dingin semakin membasahi tubuhku. Ya Allah, aku benar-benar grogi.

”Bram!” suara Laras meninggi.

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sejenak. Yudi, satu-satunya teman yang masih berada di ruang kuliah menoleh ke arah kami.

“La..ras…” Suaraku tersendat.

Laras menatapku bingung.

“Ehm…would you…ehm…marry me?” aku tergagap. Akhirnya, keluar juga perkataan itu dari mulutku.

Laras menatapku heran. Ia menunduk, berpikir sejenak. Aku menunggu. Rasanya seperti menunggu sebuah vonis.

”Kupikir, itu bukan ide yang baik.” Katanya setelah beberapa menit terdiam. ”Aku duluan, Bram. Assalamu’alaikum…”

Aku terpana. Aku masih juga terpana saat tiba-tiba Yudi menepuk pundakku.

“Apa tidak ada cara yang lebih romantis, Bung?” Yudi tersenyum. Aku salah tingkah.

Begitulah, proses perjodohanku terpaksa kandas di tengah jalan. Aku tidak patah hati. Tentu saja karena aku memang tidak pernah jatuh cinta pada Laras. Tetapi kuakui, aku cukup terpukul dengan kenyataan ini. Ternyata, aku tidak cukup pandai membaca isyarat Allah. Atau, caraku yang tidak baik? Melamar di ruang kuliah tanpa prolog seperti itu memang naif sekali.

Sore itu aku pulang dengan lemas. Mama duduk di teras, sedang asyik dengan koran sore dan secangkir teh hangat. Setelah mencium tangan Mama, aku menghempaskan tubuh di kursi.

Mungkin Mama bisa menangkap kegetiranku. Mama mengusap rambutku. Aku bersyukur Mama tidak membuka pembicaraan mengenai perjodohanku. Aku tidak siap.

Sepanjang sore itu aku mencoba menenangkan diri. Aku mencoba bersikap realistis menghadapi kenyataan ini. Aku percaya, Allah akan memberikan seorang pendamping untukku.

Pikiranku masih tidak menentu saat aku bangun tadi pagi. Aku sholat istikharah lagi tadi malam. Tapi kali ini, aku tidak memperoleh isyarat apa-apa. Akhirnya, kuputuskan untuk bicara dengan Mama. Toh, Nita gadis yang baik juga.

Aku mendahului bicara sebelum Mama bertanya tentang keputusanku.

”Ma…”

”Ya? Kenapa, Bram?”

”Aku…” Aku terdiam sejenak. Aku baru akan melanjutkan ucapanku saat sebuah pesan masuk. Aku meraih HP yang tergeletak di meja dengan enggan.

Laras???

Apa lagi yang akan dikatakannya sekarang? Berdebar aku membuka pesannya.

Setelah saya pikirkan lagi, ide kamu tidak terlalu buruk. Tawarannya masih berlaku?

Aku terpana. Hidup memang penuh kejutan.

(Pasar Minggu, 16 Januari 2003)



Sumber : Majalah Ummi, No. 10/XIV Februari – Maret 2003/1423 H

Yanti

Allow. . . .
Nama quw Yanti, ,
Quw school Di Smp 1 Pasuruan RSBI, , ,
Follow and Coment Blog quw ya ? ? ?

Selasa, 22 September 2009

Keselamatan dan keberuntungan,,

HuFh p'jaLanan YANg meNGasikKan anD mEneGAngkan plUs meMbaWA kebeRUntuNGAn bAngET.
Wkt tHu gW MA keLUargA gW PlG dR ProBolingGo. TyUz MamPIr kE RuMahx kE temENdx ayaH Gw ruMAhx THu dEkET Rel KEreta aPI, HBz smP d saNA eh tENYAta, g' ADA OranGx..
Ya eLAh nyaPE' nYApe'In orAnG AJA.
HBZ thu gW KelUAr dr GANk. PerTAmax gW NGajak leWAt DPn, eH tp SI KAkaK G' MaW. Ya UdH LEwat saMPIng. TruS ADA tUkang beCak, dy BLG gIni, Mas ojok lewat disik, onok sepur lewat. Nah waKthu iTHU q sm MAs q uDH ada di TENgah rel, truZ kaKAk gw Blg, oh nggeh pak, matur nuwun.
Ya ampun .
ItHu sUngGuhan,
THANKZ GOOD,